triggernetmedia.com, Jakarta – Gelombang kritik terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menguat. Bukan hanya dari pengamat atau akademisi, kali ini datang dari ruang legislasi sendiri. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyuarakan kekhawatiran atas putusan MK yang mereka nilai kian menyerupai kerja lembaga legislator.
Putusan terbaru MK yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah, dinilai telah melampaui batas kewenangan. Anggota Fraksi PKB, M. Khozin, tak menampik wacana merevisi Undang-Undang MK sebagai opsi yang kini mulai diperbincangkan di parlemen.
“Kalau perilaku semacam ini terus dibiarkan, bisa jadi preseden yang panjang. MK seperti membuat aturan sendiri,” ujar Khozin, Jumat, 4 Juli 2025.
Ia menyinggung ketimpangan antara proses panjang legislasi di DPR—yang bisa memakan waktu bertahun-tahun—dan ketukan palu MK yang bisa membatalkan sebuah undang-undang dalam satu putusan saja.
Senada, Ketua Fraksi PKB Jazilul Fawaid juga tak menahan kekesalannya. Dalam forum diskusi internal fraksi, ia menyebut MK kian kehilangan jati dirinya sebagai negative legislature. Alih-alih menguji, MK dianggap ikut merumuskan.
“Penjaga konstitusi itu menjaga, bukan menciptakan. Tapi MK sekarang sering ikut bikin norma. Ini bukan soal setuju atau tidak, tapi soal batas kewenangan,” kata Jazilul.
Ia juga menyoroti putusan lain yang dianggap kontroversial, seperti soal batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Baginya, keputusan semacam itu seharusnya berada di ranah pembuat undang-undang.
Meski menyampaikan kritik tajam, Jazilul menegaskan bahwa partainya tetap menghormati keberadaan MK. “Tapi bukan berarti tidak boleh dibahas atau dikritik. Kita ini lembaga politik, tentu punya hak untuk berdiskusi,” katanya.
Untuk sementara, wacana revisi UU MK masih sebatas obrolan informal. Tapi di tengah meningkatnya frekuensi putusan yang dianggap melampaui batas, bukan tidak mungkin DPR bergerak lebih konkret. Apalagi jika suara-suara serupa mulai bergema lintas fraksi.