triggernetmedia.com, Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu nasional dan daerah terus menuai polemik. Putusan tersebut tak hanya mengubah peta penyelenggaraan Pemilu ke depan, tetapi juga memicu perdebatan tajam di kalangan elite politik dan parlemen.
MK memutuskan pemilu dibagi ke dalam dua kategori. Pemilu nasional mencakup pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR RI, serta anggota DPD. Sementara itu, pemilu lokal mencakup pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) serta anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Keputusan ini secara de facto mengakhiri sistem pemilu serentak lima kotak suara yang diterapkan dalam Pemilu 2019 dan 2024.
Meski bertujuan menyederhanakan pelaksanaan pemilu dan mengurangi beban penyelenggara, keputusan MK dinilai sebagian pihak sebagai langkah yang melampaui kewenangan. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Taufik Basari menyebut, MK telah bertindak sebagai pembuat norma, bukan hanya sebagai penguji undang-undang.
NasDem Kritik Keras
Sikap kritis disuarakan oleh Partai NasDem. Anggota Majelis Tinggi NasDem, Lestari Moerdijat, meminta DPR untuk segera merespons putusan MK secara serius.
“Partai NasDem mendesak DPR RI meminta penjelasan kepada MK dan menertibkan cara MK dalam memahami norma konstitusi,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen, Jumat (4/7/2025).
Lestari menilai, perubahan sistem pemilu seharusnya berasal dari evaluasi menyeluruh dan pembentukan undang-undang oleh DPR, bukan lewat putusan sepihak.
DPR Siapkan “Rekayasa Konstitusi”
Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menolak anggapan bahwa DPR akan mengevaluasi atau mengganti hakim MK. Ia menilai, desakan tersebut berlebihan.
“Kita lagi tenang-tenang saja, masa gara-gara satu putusan kita mau evaluasi hakim MK? Kurang kerjaan,” ujarnya kepada wartawan.
Namun, Dasco mengonfirmasi bahwa DPR sedang menyiapkan langkah lanjutan yang disebut sebagai “rekayasa konstitusi”. Langkah tersebut dipersiapkan untuk menanggapi putusan MK secara normatif dan legislasi.
“Kami sedang mengkaji berbagai formula rekayasa konstitusi. Komisi III DPR memfasilitasi aspirasi publik dan pakar hukum, dan itu sah-sah saja dalam demokrasi,” tambah Dasco.
Pemilih Muda Harus Melek Perubahan
Putusan ini memiliki implikasi langsung terhadap pemilih pemula dan generasi muda. Dengan sistem baru, waktu dan tata cara memilih akan berubah. Kesadaran pemilih untuk memahami format baru menjadi sangat penting, terutama menjelang Pemilu 2029.
“Ini bukan sekadar teknis, tapi menyangkut cara kita menjalankan demokrasi. Jangan sampai generasi muda justru abai saat sistem berubah,” kata peneliti politik dari LIPI, Rini Pratiwi.