banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600
HeadlineKilas KalbarSingBeBas

Paulinus, penjaga hutan yang bangkit dari Lumpuh

×

Paulinus, penjaga hutan yang bangkit dari Lumpuh

Sebarkan artikel ini

“Hutan adalah rumah dan sumber hidup untuk semua mahluk, bertarunglah untuk menyelamatkan hutan warisan leluhur. Sebab, lelaki dayak sejatinya berjuang untuk kebenaran. karena di hutanlah, budaya dan sejarah orang dayak tercatat.”

“Dan Saya percaya, kesembuhan ini adalah bentuk perjuangan dari teman-teman yang selama ini mendukung saya untuk menyelamatkan hutan. Dan semangat itu yang membuat saya bangkit untuk kembali kepada hutan,”

BENGKAYANG (triggernetmedia.com) – Paulinus Kristianto (26), lahir di Sintang, Kalimantan Barat. Ia berhasil bangkit dari penyakit yang semula secara medis di diagnosa dokter ahli mengalami osteoporosis.

Osteoporosis adalah kondisi saat kualitas kepadatan tulang menurun. Kondisi ini membuat tulang Paulinus menjadi keropos dan rentan retak.

Saat itu, Paulinus mengalami sakit punggung luar biasa. Ia pun mencoba memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit yang ada di Berau, Kalimantan Timur.

“Saat itu dokter menyatakan kalau saya mengalami osteoporosis,” cerita Paulinus kepada trigger bermedia.com, Senin (7/1).

Tak percaya dengan apa yang dikatakan dokter, kata Paulinus, selanjutnya Ia mencoba memeriksakan diri ke rumah sakit yang berbeda, di Jawa. Dia pun saat itu terpaksa berangkat seorang diri.

“Saat itu aku memaksa diri untuk ke Jawa, saat aku sendiri menggunakan pesawat. Namun, saat pesawat turun di Balikpapan aku mengalami sakit luar biasa dan tidak dapat bergerak sama sekali, aku meminta pramugari untuk menyediakan kursi roda,” ceritanya lirih.

Selanjutnya Paulinus meneruskan perjalanan menuju Yogyakarta, Dia naik ke pesawat menggunakan kursi roda.

“Setibanya di Jawa aku melakukan check up ke rumah sakit, dan melakukan MRI sehingga didapati bahwa aku mengalami inflamasi saraf di tulang punggung. Tepatnya lumbal 3-4 dan terjepit 70 persen,” jelasnya.

Mendengar pernyataan itu, Paulinus seketika itu langsung shock. Ia binggung entah bagaimana selanjutnya.

Ketika itu dokter mengatakan bahwa hanya operasi yang bisa dilakukan dan memakan biaya 30 juta. Itu belum termasuk biaya perawatan setelah operasi.

“Satu-satunya dalam otakku waktu itu adalah, ini tidak akan berhasil karena aku tidak ada uang sebanyak itu dan lebih baik pulang ke Sintang menyudahi semua ini,” ujar Paulinus yang sempat pesimis.

Selama 10 hari berada di rumah sakit, kata Paulinus, selama di ruang perawatan semua teman yang ia kenal silih berganti berdatangan. Dan yang Ia ingat adalah mereka mencoba membahagiakan dirinya, dengan membawa ayam goreng tepung kegemaran.

Paulinus pun sempat meminta kepada pihak konservasi hutan tempatnya bekerja untuk istirahat, dan kembali ke Sintang. Ketika itu harapan untuk pulih semakin pesimistis. Apalagi secara finansial, uang simpanannnya semakin tipis, Ia pun hanya bisa berobat ke tukang urut.

“Semua tukang urut sudah dicoba, mulai dari metode Cina, Dayak, Melayu hingga Arab semuanya sudah dicoba. Namun, kondisi saya tetap masih lumpuh di kamar dengan segelas teh hangat tiap pagi buatan nenek,” tuturnya berkisah.

Ketika terpuruk karena sakitnya, lanjut Paulinus, Ia tidak menjalankannya sendiri. Semua teman yang ia kenal terus datang menjenguk, sembari membawa bantuan. Bahkan yang jauh rela menghabiskan waktu mereka, yang sekedar untuk menjenguknya.

“Keperluan biaya untuk berobat sangatlah mahal. Rata-rata setiap minggu bisa menghabiskan 10juta untuk sekedar painkiller, terapi, urut dan konsultasi dokter tulang. Uang yang gunakan adalah semua bantuan dari teman-teman,” ungkap Paulinus.

Masjid demikian, saat itu Paulinus masih menaruh kepercayaan yang besar dalam dirinya. Kalau satu bulan ia akan sembuh dari lumpuh.

Dua bulan berganti, Paulinus berpikir ini hanya butuh istirahat lebih. Dan berselang tiga bulan kemudian, Ia pun mulai meragukan bisa sembuh dengan cepat.

Pada bulan ke-4, Paulinus mulai pasrah. Ia pun mengaku saat itu kalau pun sembuh syukur, kalaupun tidak ya sudah.

“Dan bulan ke-5 saya pada fase itu tidak akan sembuh, lantas saya pun menyerah,” ujarnya.

Ruangan tempat Paulinus berbaring sehari-hari hanya terdapat sebuah kipas angin, dan meja tempat meletakan buku yang telah habis Ia baca.

“Sebuah salib tepajang didinding, tapi saya tidak pernah bisa berdoa dengan benar. Sebab rasa sakit itu seperti membunuh saya setiap saat,” keluh Paulinus.

Tiap tiga jam minum painkiller, Paulinus pun mengaku biasanya Ia cuma dapat tidur 2-4 jam saja setiap harinya. Itu pun dengan ringkihannya yang menahankan rasa sakit.. Bahkan, setiap harinya Ia cuma bisa menghabiskan waktunya dengan membaca Kitab Suci.

“Aku menyelesaikan seluruh kitab suci dari perjanjian lama hingga perjanjian terakhir hanya satu hal yang aku suka adalah “…ya bapa jikalau mungkin jauhkanlah piala ini dari padaku, tapi biarkanlah yang terjadi menurut kehendakmu bukan kehendakku, dan ayat alkitab itulah yang menguatkan saya,” ujar Paulinus.

Waktu terus berlalu, nenek dan Ibu Paulinus selalu menjenguknya setiap pagi, menanyakan hal yang sama dalam bahasa Dayak Suaid, Kapuas Hulu

“kati phasa the..?” (gimana perasaannya ?) dan jawaban ku selalu sama,
“upa slamak” (seperti biasa),” kenang Paulinus.

Setiap malam menjelang tidur, nenek atau Ibu Paulinus selalu datang menjenguk. Mereka sekedar bercerita untuk meringankan beban pikiran dan rasa sakit yang Ia rasakan.

Paulinus menyadari, kala itu ibu dan neneknya juga tidak bisa tidur, dan boleh jadi mereka stress memikirkan kesembuhannya. Sementara, teman dan tetangga silih berganti datang menjenguk, dan Ia masih tetap terbaring lumpuh di kamar.

Dalam hidupnya, Paulinus mengaku tak pernah melupakan cerita tentang hutan, termasuk seluruh orang dayak yang Ia kenal di Kalimantan.

“Kepada keluargaku dan nenek selalu percaya bahwa roh hutan tidak akan membiarkan aku terus sakit. Aku menyerah pada titik sakit itu, dan aku sudah memberi tahukan ke ibu bahwa aku akan bunuh diri setelah semua cerita ini berakhir. Karena tidak sedikit pun aku ingin mereka sibuk hanya karena kelumpuhan ku ini,” pikirnya.

Paulinus mengakui jika Ia dan keluarganya itu dari keluarga miskin yang hanya bisa membeli beras 1 kilogram sehari, jadi tidak mungkin menangung biaya operasi yang puluhan juta.

“Aku tidak bisa melihat keluargaku masuk ke kamar, dan keluar menangis tiap kali melihat kondisiku yang tidak kunjung sembuh,” ceritanya pilu.

Paulinus terus berusaha menyimpan semua keputusasaan dan rasa sakitnya dalam sebuah selimut. Jika sakitnya datang sangat kuat Ia pun mengaku menutupkan pintu, agar tidak satupun melihat. Sebab air mata mereka sudah terlalu banyak untuk sebuah kesakitannya.

Dalam keputus asaan dihadapkan dengan kondisi itu, seorang teman dari Malaysia menyarankan untuk berobat di sebuah rumah sakit di Kuala Lumpur, sebagai tahap akhir.

Beruntung semua biaya untuk berobat ke Malaysia itu ditanggung temannya. Paulinus pun menyetujui untuk berangkat berobat.

“Satu bulan aku di sana, dan satu hal yang membuat aku merasa lega adalah dokter ahli tulang mengatakan bahwa tidak butuh operasi dan dia akan menyuntikan anti inflamasi ketulang punggung untuk membuat inflamasi itu berhenti,” katanya.

Setelah melakukan pengobatan tanpa operasi. Tujuh bulan setelah itu, berlahan kondisinya membaik. Paulinus mengaku sudah bisa berjalan dan duduk normal, meski tidak seberapa lama.

Kondisi Paulinus semakin membaik. Ia kemudian mengirimkan pesan kepada semua orang yang telah membantu dirinya selama ini. Selain bersyukur dan berterimakasih, Ia pun berharap bisa membalas semua kebaikan mereka.

“Semua jawaban yang saya terima adalah…teruslah berjuang untuk hutan. Sebab kami membantu mu karena cinta lmu pada hutan,” kata Paulinus lagi.

Kini, Paulinus kembali menjadi dirinya lagi, meski tidak dengan tenaga yang sama. Namun, Ia kembali untuk hutan suku dayak yang Ia percaya harus di pertahankan.

Paulinus kini kembali untuk sebuah pohon yang dianggapnya harus terus hidup dan tumbuh. Dan ia kembali untuk lebih keras melawan, bahkan lebih berani dari sebelumnya.

“Sebab, doaku terakhir saat sakit seperti ini, hutan dan isinya jikalau engkau ingin aku kembali ke arena yang sama dengan sebelumnya, maka biarkan aku berangkat dari tempat tidur ini,” kenangnya.

Bangkit dari penderitaannya itu, Paulinus Dalam kini dapat menikmati hidupnya lagi. Ia pun ingin melakukan yang terbaik, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk orang lain.

Paulinus pun berujar jangan sesekali menyia-nyiakan setiap detik dan menit dalam hidupmu. Karena waktu sangat berharga untuk bahagia, buang semua kemarahan, benci dan dendam sebab tidak akan berguna untuk hidup.

Pewarta : Doe
Editor : Dhesta

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *