triggernetmedia.com – estival Pacu Jalur di Kuantan Singingi, Riau, kembali menjadi perhatian publik. Kali ini, bukan semata karena semarak perlombaan perahu panjang yang mendebarkan, melainkan karena viralnya sosok “Anak Coki” seorang bocah yang menari energik di atas perahu sambil mengalirkan semangat kepada para pendayung. Fenomena ini ramai di TikTok dengan narasi “aura farming” dan cepat menyebar sebagai hiburan unik. Namun di balik viralitas itu, ada warisan budaya yang jauh lebih dalam dan sakral: tradisi panjang pembuatan jalur, perahu khas Pacu Jalur.
Lebih dari Sekadar Perahu
Jalur bukan hanya alat untuk berpacu. Ia adalah simbol identitas, warisan leluhur, dan hasil karya gotong royong yang menyatukan komunitas. Tradisi pembuatannya bukan proses biasa setiap tahapnya sarat dengan filosofi, penghormatan pada alam, serta ritus adat yang diwariskan turun-temurun.
Proses dimulai dari musyawarah kampung. Para pemuka adat, tokoh masyarakat, pemuda, dan kaum ibu berkumpul untuk menyepakati niat membuat jalur baru. Setelah keputusan diambil, langkah berikutnya adalah memilih pohon terbaik di hutan.
Kayu pilihan biasanya dari jenis banio, kulim kuyiang, atau pohon lain yang diyakini punya kekuatan spiritual harus lurus, kokoh, dan cukup panjang, sekitar 25–30 meter. Diyakini, pohon tersebut dijaga oleh mambang, roh penjaga hutan, sehingga ritual adat semah pun wajib dilakukan untuk meminta izin sebelum ditebang.
Ritual, Gotong Royong, dan Ketelitian
Proses penebangan dilakukan secara manual menggunakan kapak dan beliung. Setelah itu, batang kayu dibersihkan dari dahan dan ranting, lalu kulitnya dikupas dan dibentuk sesuai bagian-bagian jalur: haluan, badan, dan buritan.
Pengerjaan selanjutnya dilakukan dengan penuh ketelitian dan kesabaran: meratakan bagian atas (pendadan), mengeruk bagian dalam (mencaruk), hingga membentuk bagian bibir agar seimbang. Setiap lubang pengukur ketebalan akan ditutup dengan pasak, menunjukkan tingkat presisi tinggi dalam pengerjaan jalur.
Jalur lalu dibalik secara hati-hati (manggaliak), lalu kembali ke posisi semula untuk pembentukan haluan dan kemudi. Jalur yang sudah hampir jadi kemudian ditarik ramai-ramai ke kampung dalam tradisi maelo jalur sebuah momen kebersamaan yang menyatukan seluruh warga.
Dihidupkan Lewat Upacara Adat
Di kampung, jalur dihaluskan, diukir dengan motif khas, dan diasapi untuk memperkuat struktur kayu. Puncaknya, perahu diluncurkan ke sungai melalui upacara adat peluncuran, sebagai bentuk rasa syukur dan penghormatan pada alam serta leluhur.
Perahu ini tak hanya ramping dan indah, tapi juga kuat dan lincah mampu membawa 40–60 pendayung melesat di arus Sungai Kuantan. Tak heran jika saat berpacu, jalur seperti hidup dan menyatu dengan semangat warga yang menyertainya.
Warisan Budaya yang Terus Bernyawa
Di tengah hingar-bingar viralitas dan tren media sosial, Pacu Jalur tetap menjadi penanda jati diri masyarakat Kuantan Singingi. Ia bukan hanya festival tahunan, tapi perwujudan nilai-nilai lokal: musyawarah, gotong royong, penghormatan pada alam, hingga kesetiaan pada tradisi.
Viralnya Anak Coki boleh saja mengundang gelak tawa, tapi tak boleh menutupi satu hal penting: Pacu Jalur adalah kebudayaan hidup yang dibangun lewat proses panjang, penuh penghormatan, dan layak dijaga bersama.