banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600

Belajar Toleransi dari Penganut Sunda Wiwitan dan Umat Muslim di Cireundeu

banner 120x600

triggernetmedia.com – Sebuah kampung di Jawa Barat tempat penganut aliran kepercayaan hidup berdampingan dengan umat Muslim ingin menjadi model toleransi dan keberagaman.

Kang Yana, dengan ikat kepala hitamnya tampak sibuk. Dia bolak-balik ke dapur, berbicara dengan kaum ibu yang hanya kedengaran suaranya dari luar, memastikan makanan cukup untuk tamu.

Tangannya menggotong-gotong perangkat pelantang suara ke Imah Panggung, sebutan bangunan multifungsi di tengah permukiman padat namun asri ini.

Hari itu akan datang 40-an mahasiswa dari Universitas Negeri Jakarta yang hendak melakukan studi lapangan di Kampung Adat Cireundeu.

Kang Yana, selain harus memastikan semua mahasiswa mendapat tempat tinggal untuk menginap, juga adalah juru bicara kampung adat ini.

Berangsur-angsur rombongan mahasiswa berjaket hijau datang dengan membawa beberapa galon air minum, aneka panganan, termasuk rice cooker. “Mereka sudah semester tiga,” kata dosen pendamping Muhamad Ridwan Effendy kepada wartawan Hilman Hamdoni yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Kedatangan rombongan itu adalah bagian dari praktik lapangan mata kuliah Kajian Studi Agama-Agama yang diselenggarakan jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta. Menurut Effendy, UNJ adalah satu-satunya kampus yang menghelat mata kuliah ini.

Pembukaan acara di Imah Panggung berjalan khusyuk. Perhelatan dimulai dengan salam dan doa-doa secara Islam, meskipun sebagian besar warga di kampung adat ini menganut lekat-lekat kepercayaan Sunda Wiwitan.

“Nanti tolong pertanyaannya jangan terlalu akademis,” kata Kang Yana yang juga membuka acara.

Dia mewanti-wanti para mahasiswa agar siap berjumpa dengan pengetahuan baru, keyakinan baru yang berbeda dengan standar keyakinan mereka sebelumnya, “Jangan menghakimi. Kalau sama Akang, bolehlah bertanya macam-macam.”

Setelah pembukaan, secara berkelompok mahasiswa-mahasiswa ini berdialog dengan Kang Yana, Kang Jajat, Kang Tri—ini tiga pemandu merangkap juru bicara kampung adat.

Di teras rumah warga yang dijadikan tempat menginap, terlihat juga mahasiswa menyimak dengan khidmat penjelasan tuan rumah atas pertanyaan mereka.

Kampung Adat Cireundeu cuma berjarak sekitar 15 menit dari pusat Kota Cimahi, bekas kota militer kolonial Belanda yang bertetangga dengan Kota Bandung.

Kawasan ini nyaris terisolir dan tenggelam bersamaan dengan dijadikannya bukit-bukit mereka menjadi lokasi Tempat Pembuangan Akhir Sampah Leuwigajah yang menampung sampah kota dan kabupaten sekitarnya, termasuk Kota Bandung. Leuwigajah ditutup menyusul tragedi longsor sampah yang merenggut ratusan nyawa pada tahun 2005.

Untuk mencapai kampung ini, pengunjung harus naik-turun, menyusuri kontur kampung di perbukitan yang diisi oleh rumah-rumah yang berimpitan seraya berpapasan dengan penduduk dan anak-anak yang ramah.

Bentuk rumahnya mungkin sama saja dengan bentuk rumah kampung-kampung kota lainnya di Cimahi. Mereka juga tak melulu memakai baju adat Sunda sebagai baju sehari-hari. Televisi, handphone, dan aneka jajanan dengan plastik warna-warni adalah kelaziman.

Dari atribut fisik, pengunjung awam nyaris tak bisa membedakan, mana yang menganut Sunda Wiwitan dan mana yang Muslim. Mereka telah hidup berdampingan berpuluh tahun tanpa konflik yang berarti.

“Pasti di kepala mahasiwa-mahasiswa banyak pertanyaan. Apalagi ini (mahasiswa) PAI (Pendidikan Agama Islam). Akan banyak membandingkan. Kami hidup dengan keanekaragaman. Jadi masuk ke rumah ini ada yang Muslim. Ada juga yang Sunda Wiwitan. Tidak bisa dibedakan,” kata Kang Yana lagi.

Dosen pendamping, Muhamad Ridwan Effendy, mengetengahkan alasan memilih kampung ini sebagai lokasi penelitian bagi mahasiswa-mahasiswanya.

“Di sini (Desa Cireundeu) meski tampilannya modern, tapi agamanya tetap Sunda Wiwitan. Berbeda dengan Kampung Naga (kampung adat di Jawa Barat juga). Warganya Muslim, tapi tampilannya, adat istiadatnya, rumah-rumahnya, masih mempertahankan kebudayaan Sunda,” paparnya.

Ini memang bukan kali pertama kampung adat menjadi sasaran kunjungan studi lapangan mata kuliah yang diampunya.

Sebelumnya mereka pernah ke desa-desa adat seperti Ciptagelar, Cigugur, Baduy, dan lain-lain.

“Saya melihat harmoni sosial. Saya perhatikan di sini multikultur tapi tidak gaduh. Ini yang menarik. Miniatur bernegara ya harusnya seperti ini,” imbuhnya.

Praktik lapangan ini, menurut Effendy, memang dirancang agar para mahasiswa lulusan jurusan Pendidikan Agama Islam di UNJ bisa mengajarkan agama secara inklusif.

“Cara beragama mahasiswa di PAI sendiri memang masih ada saja yang eksklusif. Dan dari pengalaman saya, beragama secara eksklusif itu, pasti akan sangat mudah menghakimi orang lain.”

Selain praktik lapangan dari mata kuliah Kajian Studi Agama-Agama, di jurusannya juga ada mata kuliah studi terhadap penghayat aliran kepercayaan lokal.

“Kami ingin belajar toleransi di Cireundeu,” kata Effendy. “Bagaimana beragama ramah kemanusiaan, itulah yang kami angkat.”

Menurut kajian Setara Institute, lembaga swadaya masyarakat yang menyelenggarakan kajian-kajian mengenai keberagaman, guru-guru agama adalah aktor yang paling dominan dalam pembentukan paham keagamaan murid-muridnya.

Dengan kata lain, gejala intoleransi yang muncul di kalangan pelajar, boleh jadi dibentuk dari pengajaran-pengajaran guru agama di sekolah.

Kang Yana mungkin belum mendengar kajian tersebut. Tapi dia punya pengalaman dan paham betul diskriminasi yang dialami anak-anak Kampung Cireundeu, yang juga kerap dilakukan guru-guru agama.

Karena ketiadaan guru-guru agama Sunda Wiwitan, anak-anak yang berasal dari kelompok ini harus belajar dan mengikuti ritual-ritual keagamaan di sekolahnya. Inilah yang mendorongnya bersemangat. Dia tidak henti-henti berbicara dan menerima pertanyaan mahasiswa-mahasiswa UNJ di sore yang kehujanan itu.

Di Indonesia ada 187 aliran kepercayaan yang tercatat. Dalam praktiknya, kelompok Sunda Wiwitan ini kerap mengalami diskriminasi, mulai dari dianggap sebagai aliran sesat hingga harus mencantumkan agama yang bukan mereka anut di dalam KTP.

Setelah menunggu puluhan tahun, Mahkamah Konstitusi pada 2017 memutuskan bahwa “negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)”. Dinukil pada laman suara.com.

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *