triggernetmedia.com, Jakarta – Ketegangan geopolitik di Timur Tengah dinilai bakal memberi dampak ekonomi serius bagi Indonesia. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperingatkan, jika konflik terus memburuk dan mengganggu jalur energi global seperti Selat Hormuz, Indonesia bisa menghadapi inflasi tinggi dan penurunan daya beli masyarakat.
Dalam laporan bertajuk “Meredam Guncangan Ekonomi dari Gejolak Timur Tengah” yang dirilis Kamis, 3 Juli 2025, CORE menyoroti potensi lonjakan harga energi dan pangan yang bisa mendorong tekanan berlapis pada sektor konsumsi dan produksi nasional.
“Efek disrupsi rantai pasok bisa mengerek biaya impor pangan dan logistik ke titik kritis. Ini bisa memicu inflasi bergelombang,” tulis laporan itu.
CORE mencatat, Indonesia masih sangat bergantung pada impor beberapa komoditas strategis: gandum dan kedelai diimpor hampir 100 persen, sedangkan gula sekitar 30 hingga 40 persen. Dengan sistem logistik dalam negeri yang masih mengandalkan bahan bakar minyak, lonjakan harga minyak global dipastikan akan menyulut biaya distribusi.
Dua Gelombang Inflasi
Menurut CORE, dampak kenaikan harga energi akan terjadi dalam dua fase. Fase pertama menekan sektor-sektor padat energi seperti logistik, pertanian, dan perikanan. Fase kedua muncul saat produsen menyesuaikan harga jual untuk menutupi biaya produksi yang melonjak.
“Akhirnya, daya beli masyarakat tergerus dan pola konsumsi beralih ke produk yang lebih murah, bahkan kurang bergizi,” tulis CORE.
Kondisi ini mengingatkan pada krisis pangan dan energi 2022 lalu, saat perang Rusia-Ukraina memicu inflasi Indonesia hingga 5 persen.
Jika harga minyak menyentuh USD 100–130 per barel pada kuartal III dan IV tahun ini, potensi gejolak bisa serupa. Analisis CORE terhadap data Indeks Penjualan Riil (IPR) dan Indeks Harga Konsumen (IHK) 2014–2023 menunjukkan, inflasi tinggi memukul konsumsi rumah tangga dalam tiga bulan pertama setelah lonjakan harga. Pemulihan konsumsi baru pulih sepenuhnya pada bulan ke-20.
Produksi Terpukul
Tak hanya rumah tangga, pelaku usaha juga terkena dampak. CORE mencatat kontraksi IPR hampir -10 poin pada bulan ketiga pasca-inflasi. Produksi industri turun karena biaya input membengkak dan permintaan lesu.
Meski tren pemulihan mulai terlihat di bulan ke-5 hingga ke-12, stabilitas baru benar-benar kembali sekitar dua tahun setelah guncangan pertama.
Daerah Terpencil Paling Rentan
CORE juga menyoroti dampak yang lebih besar bagi wilayah terpencil, terutama di kawasan timur Indonesia seperti Papua. Ketergantungan tinggi pada energi fosil dan ongkos logistik yang mahal membuat daerah-daerah ini lebih rentan terhadap inflasi.
“Pemerintah perlu menyiapkan langkah antisipatif, mulai dari penguatan cadangan pangan, efisiensi energi, hingga subsidi terarah,” ujar analis CORE.