banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600

Vaksinasi Covid-19 di Papua: Antara Hoaks, Trauma Tentara, dan Stok Habis

ILUSTRASI - BIN menggelar vaksinasi terhadap pelajar di Papua. Selain itu, juga melakukan vaksinasi kepada warga secara door to door.
banner 120x600

triggernetmedia.com – Vaksinasi Covid-19 di sebagian besar wilayah Papua, terutama di pegunungan, berjalan sangat lambat. Pelibatan institusi militer disebut mengurungkan niat sebagian warga Papua untuk datang ke lokasi vaksinasi.

Situasi itu diperburuk persepsi keliru sekelompok warga Papua, termasuk pimpinan gereja, terhadap bahaya Covid-19 dan pentingnya vaksin.

TNI menyebut peran mereka dalam vaksinasi di Papua adalah tugas tambahan di luar fungsi utama mereka di bidang pertahanan.

Kasus aktif Covid-19 di Papua adalah yang terbesar kedua di Indonesia, di luar Jawa-Bali per awal September ini.

Situasi pandemi di Papua juga tergolong lebih buruk ketimbang daerah lain dari segi jumlah tes, keterisian tempat tidur rumah sakit dan vaksinasi.

Meski begitu upaya pemerintah mempercepat vaksinasi di Papua kini baru difokuskan di empat daerah yang akan menggelar pekan olahraga nasional (PON) Oktober mendatang.

Panuel, pemuda yang tinggal di Dekai, Kabupaten Yahukimo, belum menerima vaksin Covid-19. Lulusan perguruan tinggi swasta di Jayapura ini merasa belum perlu menerima vaksin.

Panuel beranggapan, mayoritas warga Yahukimo tidak terdampak penyakit yang sudah menular ke hampir seluruh pelosok dunia ini.

“Hampir seluruh masyarakat Yahukimo belum divaksin. Kami masih beraktivitas normal,” ujarnya.

Panuel juga ragu kalau Covid-19 adalah penyakit menular yang bisa mematikan. “Saya dulu pernah rapid test, hasilnya reaktif. Tapi setelah saya tes antigen, hasilnya negatif.

“Saya juga baca berita dari luar. Jadi kalau ada orang yang perlu dibantu oksigen, baru saya percaya dia Covid,” kata Panuel.

Yahukimo adalah salah satu kabupaten dengan capaian vaksinasi terendah, bukan hanya di Papua, tapi dalam skala nasional.

Baru 1,3% warga Yahukimo yang menerima vaksinasi dosis pertama, menurut data Kementerian Kesehatan per 3 September lalu.

Adapun, warga Yahukimo yang mendapatkan dosis kedua baru 2.054 orang dari total 243.242 penduduk.

Faktanya, kabupaten dengan lanskap pegunungan ini tidak benar-benar terbebas dari pandemi.

Pada 2 September lalu misalnya, terdapat 23 orang yang positif Covid-19 di Yahukimo, berdasarkan data Pemprov Papua. Di hari yang sama, tiga orang di sana meninggal dalam status positif Covid-19.

Ini adalah data pemprov paling terkini soal situasi pandemi di Yahukimo.

Positivity rate atau perbandingan kasus positif dan jumlah tes di Yahukimo mencapai 26,09% pada 3 September lalu. Ambang batas aman yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah 5%.

Meski begitu keseharian warga Yahukimo tidak berubah meski angka-angka tadi menunjukkan realita pandemi. Aktivitas keagamaan, salah satu kegiatan yang dirujuk Panuel, juga berlangsung seperti pada masa-masa sebelumnya.

“Hampir semua gereja di Yahukimo, ibadah hari minggunya tetap diadakan secara tatap muka di gereja,” ujarnya.

Sementara itu seorang warga pedalaman Kabupaten Boven Digoel menyatakan menolak vaksin Covid-19. Laki-laki bernama Jimmy ini khawatir vaksin justru akan berdampak negatif pada kesehatan.

“Kami melihat ada masalah dalam vaksin, ada yang lumpuh dan tiba-tiba sakit. Kami juga belum melihat dampak virus corona itu seperti apa,” ujarnya.

“Dari sejak munculnya penyakit Covid, kami jarang pakai masker. Kami juga beraktivitas ibadah seperti biasa,” kata Jimmy.

‘Banyak tokoh gereja tidak percaya Covid’

Berita tidak benar dan desas-desus merupakan pemicu utama keengganan masyarakat menerima vaksin Covid-19, menurut Peres Nekwek, pimpinan Gereja Jemaat Reformasi Papua (GJRP).

Peres berkata, sentimen terhadap aparat akibat situasi keamanan dan politik di Papua juga mempengaruhi persepsi sebagian warga terhadap vaksin.

“Di sini banyak hoaks walau ada juga orang dengan komplikasi yang mengalami gejala setelah divaksin,” kata Peres.

“Jadi banyak orang, terutama di pegunungan, melihat vaksin sebagai hoaks, propaganda anti-Kristus, atau alat militer untuk membunuh rakyat Papua,” ucapnya.

Peres berkata, pengurus gerejanya sudah sempat mengimbau jemaat untuk mematuhi protokol kesehatan saat beribadah. Gerejanya beberapa kali juga berusaha meyakinkan jemaat bahwa virus corona nyata dan berbahaya.

“Tapi banyak orang melihatnya aneh, hanya kami sendiri yang pakai masker dan jemaat ejek dan tertawakan kami,” tuturnya.

Persepsi masyarakat ini, menurut Peres, turut dibentuk ketidakpercayaan banyak pimpinan gereja di Papua terhadap Covid. Suatu kali saat pandemi ini, Peres memimpin seminar keagamaan yang dihadiri sekitar 500 orang secara tatap muka.

Dalam acara itu hanya dia yang memakai masker. “Yang lain bilang ‘dalam nama Yesus tidak usah pakai masker’,” kata Peres.

Peres baru beberapa bulan lalu pulih dari Covid. Peres menyebut kesembuhannya sebagai mujizat karena banyak pasien di ruang perawatannya meninggal.

‘Hanya belasan orang divaksin dalam seminggu’

Kepala Dinas Kesehatan Papua, Robby Kayame, menyebut capaian vaksinasi di kawasan pegunungan Papua masih sangat rendah.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 7 September, rata-rata vaksinasi dosis pertama di 14 kabupaten di Pegunungan Tengah Papua adalah 2,7%. Tertinggi di Jayawijaya (10,4%) dan terendah di Nduga (0,5%).

Pegunungan tengah selama ini menjadi kawasan yang dikecamuk pertempuran senjata antara Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPNOPM) dan TNI/Polri.

Data Kementerian Kesehatan tidak mencatat stok vaksin yang tersedia di Nduga. Tidak ada juga data rata-rata orang yang vaksinasi dan estimasi tenggat habisnya vaksin di kabupaten yang diwarnai konflik bersenjata dan gelombang pengungsian itu.

Secara umum di Papua, stok vaksin Kabupaten Keerom diperkirakan baru habis dalam tujuh bulan ke depan. Dalam sepekan, rata-rata yang menerima vaksin di sana hanya 122 orang.

Di tujuh kabupaten di Papua, rata-rata yang divaksin hanya belasan orang dalam satu pekan. Bahkan di Kabupaten Supiori, rata-ratanya hanya delapan orang.

Jumlah ini timpang dengan rata-rata penerima vaksin mingguan di Kota Jayapura (1.412 orang) dan Kabupaten Mimika (1.545). Vaksinasi di dua wilayah ini secara khusus digenjot pemerintah karena akan menjadi penyelenggara PON.

Robby menyebut dibutuhkan upaya sangat besar untuk mengubah pemahaman warga lokal terhadap Covid-19 dan vaksin.

Menurutnya, sebagian warga Papua menganggap penyakit yang perlu diwaspadai hanyalah HIV AIDS dan malaria.

Berdasarkan riset Yayasan AIDS Indonesia, Papua adalah provinsi dengan kasus HIV/AIDS tertinggi dalam skala nasional pada tahun 2020.

Sementara itu berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan dan sejumlah lembaga riset, Papua adalah salah satu provinsi dengan kasus malaria terbanyak di Indonesia.

Salah satu kunci yang bisa mengubah persepsi warga Papua terhadap Covid, menurut Robby, adalah keteladanan figur publik, dari pimpinan pemerintahan hingga tokoh gereja.

“Orang Papua sering butuh keteladanan. Kalau tokoh masyarakat, pembesar seperti anggota DPRD divaksin mungkin akan lebih banyak yang ikut progam ini,” kata Robby.

‘Tak mau divaksin karena trauma pada tentara’

Pendeta Peres tinggal di Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Dia menerima vaksin di sentra vaksinasi Komando Distrik Militer (Kodim) 1702/Jayawijaya.

Kodim 1702 memegang peran sentral sejak awal vaksinasi digulirkan di Jayawijaya. Mereka membuka gerai vaksin di markas mereka Juli lalu.

Komandan Koramil 1702-01/Wamena, Mayor Yusuf Riding, menyebut lembaganya bukan cuma wajib menjalankan tugas pokok menjaga kedaulatan negara, tapi juga tugas tambahan membantu pemerintah memutus penyebaran Covid-19.

Yusuf mengatakan itu saat mewakili otoritas Kodim 1702 menjelaskan program vaksinasi mereka.

Pendeta Peres berkata, sejumlah pimpinan gereja di Jayawijaya sempat meminta pemerintah lokal membuka gerai vaksin di luar markas Kodim.

“Saya bilang, lebih baik puskesmas saja yang diaktifkan. Kalau di Kodim, orang Papua tidak akan masuk, mereka takut,” kata Peres.

“Persekutuan Gereja-Gereja Jayawijaya mendorong agar keselamatan masyrakat diutamakan sehingga pikiran negatif mereka juga bisa berkurang,” ujarnya.

Juru Bicara Kodam Cenderawasih, Kolonel Reza Nur Patria, menyebut institusinya bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menjalankan vaksinasi.

Reza berkata, Kodam Cenderawasih membuka gerai vaksin di fasilitas kesehatan yang mereka miliki di Jayapura, Wamena, Merauka, Timika, Biak, Serui, dan Nabire.

TNI Angkatan Laut dan Udara juga membuka gerai vaksin di fasilitas kesehatan yang mereka di sejumlah wilayah Papua.

“Dalam pelaksanaannya, satuan TNI selalu berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam memberikan vaksinasi Covid-19 bagi seluruh masyarakat Papua,” kata Reza.

Namun Reza tidak memberikan jawaban terkait temuan bahwa sebagian warga Papua menolak divaksin karena trauma dengan institusi militer.

Pelibatan TNI bisa bermasalah jika stok vaksin yang mereka terima lebih banyak ketimbang pemerintah daerah dan tidak segera tersalurkan kepada warga. Pendapat ini diutarakan relawan di lembaga pemantau Laporcovid-19, Firdaus Ferdiansyah.

Firdaus berkata, dalam forum diskusi internal lembaganya dengan beberapa pemda, teradapat dinas kesehatan yang mengeluhkan keterbatasan stok vaksin mereka.

Akibatnya, dinas tersebut harus menutup layanan vaksin untuk sementara waktu. Firdaus mendorong agar stok vaksin di setiap institusi dibuka ke publik.

Dan yang lebih penting, kata dia, stok vaksin mesti lebih banyak dipegang dinas kesehatan karena pemda memiliki fasilitas kesehatan berjenjang dari RSUD, puskesmas hingga puskesmas pembantu.

“Skema dinas lebih baik karena stok turun dari provinsi, ke kabupaten/kota, lalu ke puskesmas dan kader kesehatan,” ujarnya.

“Kalau di TNI atau Polri, stok vaksin menumpuk di satu tempat. Dan tidak semua orang punya kemudahan akses untuk datang ke gerai mereka, misalnya karena jarak yang jauh atau karena rasa takut seperti di warga di Papua,” kata Firdaus.

Kepala Dinas Kesehatan Papua Robby Kayame menyebut keengganan warga menerima vaksin akibat pelibatan militer memang benar terjadi.

Namun Robby bilang peran TNI tidak bisa dihilangkan begitu saja dalam vaksinasi di Papua. Dia mencontohkan pengerahan kapal rumah sakit KRI Soeharso sebagai gerai vaksinasi.

Walau KRI Soeharso hanya melayani vaksinasi di Jayapura dan Kerom, Robby menyebut kapal itu memperbanyak akses warga terhadap vaksin.

“Di mana-mana teman-teman TNI membantu kami mempercepat vaksinasi,” ujarnya.

 

Sumber : Suara.com

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *