triggernetmedia.com – Tak hanya izin pertambangan dan kehutanan saja yang izinnya dicabut oleh pemerintah, tetapi juga izin penggunaan lahan perkebunan juga kena cabut sebanyak 34.448 hektar.
Langkah pencabutan izin ini diambil untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam agar ada pemerataan, transparan dan adil, untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan alam.
Menanggapi hal ini Guru Besar Ilmu Tanah IPB Prof Dr Budi Mulyanto mengingatkan, Kementerian teknis harus berhati-hati dalam menindaklanjuti pernyataan Presiden terkait pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektar.
Pasalnya, HGU adalah Hak Atas Tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada UU Nomor 5 Tahun 1960 beserta peraturan-peraturan turunannya.
Karena merupakan HAT, HGU mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.
Menurut Budi Mulyanto, untuk mendapatkan HGU, perusahaan perkebunan harus melalui proses perizinan panjang. Salah satunya pelaksanaan izin lokasi yakni pembebasan lahan atau tanah.
“Tanah tersebut juga harus bebas dari ketentuan status kawasan hutan, kayu/hasil hutan, garapan masyarakat, peta moratorium, inti-plasma serta konflik perizinan,” kata Budi Mulyanto yang juga Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) dalam keterangan tertulis, seperti dinukil pada laman suara.com, Jumat (7/1/2022).
Jika sudah mendapat HGU, Budi Mulyanto setuju jika lahan tersebut sebaiknya segera ditanami kalau tidak ingin dikenai PP 11 Tahun 2010 tentang Tanah Terlantar, HGU dicabut.
“Hanya saja kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat,” ujarnya.
Karena itu, Budi Mulyanto menyarankan tindak lanjut kementerian teknis harus sangat berhati-hati melakukan verifikasi detail, transparan dan akuntabel.
Menurut Budi Mulyanto, jika tindak lanjut pernyataan Presiden Jokowi tidak dilakukan secara berhati-hati, akan berpeluang menimbukan dampak kerawanan sosial. Kesalahpahaman seperti ini pernah terjadi di masa lalu.
Pemerintah, kata Budi Mulyanto, juga harus bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja mem-framing seolah-olah sudah ada keputusan final terkait pencabutan lahan HGU yang kini beredar di masyarakat.
“Hiruk-pikuk pencabutan perizinan ini berpeluang menurunkan rangking Ease of Doing Bussiness atau EODB,” kata Budi.
Terpisah, pakar hukum kehutanan dan lingkungan, Dr Sadino mengatakan, pemerintah wajib melakukan verifikasi terkait luasan HGU perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektar.
Hal ini, kata Sadino, karena tidak semua HGU perkebunan bisa ditanami. Ada beberapa bagian seperti lahan berpasir, lahan yang diapit sungai atau masuk dalam kawasan High Conservation Value (HVC), tidak bisa dan tidak boleh ditanami.
“Bahkan, disejumlah lahan PT Perkebunan Negara masih banyak lahan yang tidak bisa ditanami. Karena masih berkonflik dengan masyarakat sekitar,” kata Sadino.
Sadino juga mengingatkan, pemerintah tidak bisa seenaknya menindak lahan HGU tanpa verifikasi yang transparan.
Pasalnya dalam HGU ada ada amanah dari pelepasan kawasan yang ditingkatkan menjadi hak atas tanah.
“Karena telah berpindah tentunya, kewenangan final di Kementerian ATR/BPN dan bukan KLHK,” jelas Sadino.