banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600 banner 120x600

PERAN PANCASILA DALAM PUSARAN PERANG IDEOLOGI

Ilustrasi Pancasila (shutterstock)
banner 120x600

Pandemi Covid-19 yang terjadi merupakan kondisi yang menguji daya juang kita sebagai bangsa, pengorbanan, kedisiplinan, kepatuhan, serta ketenangan dalam mengambil langkah kebijakan yang cepat dan tepat. Dalam menghadapi semua ujian tersebut, kita bersyukur bahwa Pancasila tetap menjadi penjuru untuk menguatkan persatuan dan kesatuan kita dalam mengatasi semua tantangan, menggerakkan rasa kepedulian kita untuk saling berbagi, memperkokoh persaudaraan dan kegotongroyongan kita untuk meringankan beban seluruh anak negeri, dan menumbuhan daya juang kita dalam mengatasi setiap kesulitan dan tantangan yang kita hadapi.

Ideologi Pancasila merupakan falsafah bangsa Indonesia yang sudah tidak boleh di tawar-tawar lagi. Pancasila merupakan konsensus nasional yang diramu dan sudah disepakati oleh masyarakat Indonesia yang beragam untuk menjaga kerukunan, membangun kedamaian sebagai untuk menghindari kerusakan maupun  pertumpahan darah dan keberadaan semboyan Bhinneka Tunggal Ika memiliki arti yang sangat penting bagi bangsa Indonesia sebagai pendorong lahirnya nasionalisme Indonesia penyemangat untuk membangun Indonesia yang lebih maju, sebagai benteng persatuan bangsa dan negara Indonesia di era globalisasi bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari atas beraneka ragam perbedaan suku bangsa kebudayaan adat istiadat dan kepulauan tetapi secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yaitu bangsa dan negara Indonesia

Belakangan ini terdapat pihak yang secara aktif dan masif mempengaruhi masyarakat khususnya pemuda Indonesia yang menanamkan pemahaman ideologi selain Pancasila. Padahal Pancasila merupakan warisan dari pendahulu bagi generasi muda untuk tetap konsisten dalam menjaga perdamaian di Indonesia.

Banyak pihak yang tidak benar-benar tahu mengapa gerakan islam politik internasional garis keras seperti Hizbut Tahir sangat bertentangan dengan Pancasila dan hanya menyangka karena ideologi Islamnya. Padahal bukan demikian. Tidak ada yang salah dengan Islam, sebagaimana tidak ada yang salah dengan Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu, Budha, Konghucu, dimana agama-agama tersebut mengandung ajaran luhur yang sangat baik dalam mendasari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Yang bermasalah dari gerakan Islam politik garis keras Hizbut Tahir bukan nilai-nilai Islam namun sebaliknya justru pada pertentangannya dengan nilai-nilai Islam. Dimana Hizbut Tahir sekedar menggunakan Islam sebagai jubah bagi hasrat kekuasaannya. Hizbut Tahir bertentangan dengan Pancasila ketika mereka mencoba memformalkan kekuasaan politik Islam dalam wujud negara Islam dan syariah sebagai hukum positif.

“Inilah salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari buku berjudul Ilusi Negara Islam : Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Buku itu berisi pikiran  para intelektual-ulama kontemporer terkemuka Indonesia seperti KH Abudurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdatul Ulama dan Prof. DR Syafii Maarif alias Buya Syafii dari Muhammadyah.

Buku yang terbit 10 tahun lalu ini ditulis berbasis riset terhadap perkembangan tiga kelompok Islam Garis Keras di Indonesia: Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir”

Lalu mengapa ketika kekuasaan Islam diformalkan dalam wujud bentuk negara khilafah yang menggunakan hukum syariah sebagai hukum positif, bertentangan dengan Pancasila?, Banyak yang menduga, ini sekedar persoalan penghormatan terhadap kebhinekaan dan mengaitkannya dengan sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia. Padahal, gerakan Islam garis keras bertentangan secara gamblang dengan sekurang-kurangnya 3 sila sekaligus: Kemanusiaan, Kebangsaan, dan Mufakat atau Demokrasi, dapat kita lihat

  1. Pertentangan terhadap Sila ke-2 Pancasila, Kemanusiaan yang adil dan beradab. Prinsip kemanusiaan secara sederhana adalah prinsip yang menempatkan manusia setara dan bersaudara, tak dibedakan oleh suku, agama, ras, dan lain-lain identitas. Itu sebabnya Bung Karno menyebut prinsip ini dengan istilah internasionalisme, yang berarti di manapun dan berkebangsaan apapun (termasuk beragama apapun), manusia di muka bumi ini hakikatnya setara. Ketika negara didasarkan pada hanya salah satu agama dan hukum-hukum diterapkan harfiah berdasarkan kitab suci agama itu, ia bertentangan dengan kemanusiaan sebab mendiskriminasi kelompok lain.Dalam sistem negara khilafah, penganut agama lain akan didiskrimasi. Sejumlah hak asasi mereka, terutama di bidang sipil-politik tidak akan diakui. Kita telah melihat contoh nyata dalam Pilkada DKI Jakarta ketika teriakan menolak pemimpin kafir menggema dimana-mana. Bayangkan saja jika prinsip itu kemudian diformalkan menjadi undang-undang setelah kekuatan-kekuatan politik yang diboncengi Islam garis keras berkuasa. Semua gagasan dan ekspresi politik yang membedakan manusia berdasarkan identitasnya bertentangan dengan prinsip internasionalisme atau peri-kemanusiaan. Selain HTI, parpol Kristen garis keras di Eropa dan Amerika Serikat, tergolong pula dalam kelompok ini adalah ultra-nasionalis seperti Nazi di Jerman atau Ku Klux Klan di Amerika Serikat.

 

  1. Pertentangan terhadap sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia. Nasionalisme Indonesia adalah setepat-tepatnya nasionalisme sebab ia menempatkan kemanusian (internasionalisme) dan kebangsaan (nasionalisme) setara posisinya. Adanya peri-kemanusiaan dan peri-kebangsaan sebagai dasar negara menjadikan manusia Indonesia bukan seorang kosmopolit yang bersemangat internasionalis tanpa terikat kebangsaan, bukan pula seorang nasionalis chauvinis yang menganggap rendah bangsa atau kelompok identitas lainnya. Mereka bukan saja tidak memiliki semangat cinta tanah air seperti seorang kosmopolit, jauh lebih buruk dari itu, mereka hendak menghancurkan kebangsaan Indonesia, meletakkannya sebagai hanya suatu kenyataan geografis di bahwa kedaulatan Pan-Islamisme yang entah berpusat di mana.

 

  1. Pertentangan terhadap sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Bung Karno dan para pendiri bangsa sangat paham bahwa Indonesia adalah negara besar yang terdiri dari berbagai suku bangsa, adat, dan kebudayaan, termasuk nilai dan norma-normanya berbagai agama dan keyakinan, beragam latar belakang kelas sosial; serta banyak ideologi atau tendensi filsafat politik. Karena itu semangat kebangsaan alias persatuan kelompok-kelompok ini dalam wadah negara Republik Indonesia tidak meniadakan perbedaan dan pertentangan di antara unsur-unsur ini. Perbedaan dan pertentangan itu diselesaikan secara beradab melalui tradisi luhur nusantara: musyawarah yang dituntun oleh hikmat kebijaksanaan (nalar, ilmu pengetahuan, nurani, dan nilai-nilai luhur kebudayaan dan agama). Maka demokrasi politik Indonesia adalah demokrasi perwakilan yang berbasis kepada musyawarah untuk mufakat, bukan menang-kalah, bukan demokrasi voting-votinganp. Selain itu demokrasi Indonesia tidak sekedar demokrasi politik, namun juga demokrasi ekonomi alias keadilan sosial. Itu sebabnya, demokrasi Indonesia Bung Karno sebut sebagai socio-demokrasi.

 

Dalam sistem negara khilafah tidak ada yang namanya demokrasi. Keputusan-keputusan strategis atau kebijakan publik ditentukan oleh satu orang atau sekelompok orang yang atas dasar klaim keIlahian,  dipercaya memiliki hidayah untuk memutuskan segalanya dengan benar. Dengan kata lain, sistem khilafah sebenarnya merupakan varian kediktatoran, serupa fasisme di Jerman, serupa komunis Stalinis di Uni Soviet zaman dahulu. Bedanya kedikatoran khilafah dibungkus oleh tafsir sepihak atas kitab suci sehingga seolah-olah para diktator itu sedang menjalankan perintah Allah. Dengan prinsip-prinsip seperti ini, kita sudah bisa membayangkan wujud teror yang dihadapi rakyat Indonesia andai sistem negara khilafah benar-benar terwujud.

 

“Ancaman Eks HTI kembali ke bawah tanah”

kita jangan senang dulu setelah keputusan pengadilan sekali lagi menolak permohonan banding HTI atas pembubaran mereka. Ketika organisasi formalnya dinyatakan terlarang, HTI kembali ke wujud masa-masa awalnya: gerakan bawah tanah. Sebagai gerakan bawah tanah, mereka melakukan penggalangan kekuatan dengan diam-diam melalui topeng aktivitas dakwah.

Sementara untuk perjuangan politik,  mereka memanfaatkan organisasi-organisasi yang telah mereka susupi. Dalam meneriakkan program-program politik, mereka tidak lagi menggunakan juru bicara resmi, melainkan menggunakan mulut para infiltran, tokoh-tokoh mereka dalam organisasi-organisasi massa, partai politik, lembaga negara dan pemerintahan, militer dan kepolisian, pun tokoh-tokoh lepas yang tak pernah mengakui HTI.

Hanya satu cara untuk mengetahui wujud mereka, wujud gerakan bawah tanah seperti ini. Lihatlah pola narasi yang mereka gaungkan. Dalam politik mereka menggunakan istilah-istilah yang diambil dari kitab suci untuk melegitimasi serangan mereka kepada lawan politik : tuduhan kafir, partai setan, pemerintahan dajal, kriminalisasi ulama, dll.

Saat ini, menjelang 30 September, mereka meniup-niupkan isu hantu komunisme, menuduh pemerintah sebagai pendukung PKI. Tentu bagi rakyat terdidik, politik ketakutan dan kebencian ala kelompok-kelompok ini mungkin tidak lagi mempan. Namun bagaimana dengan rakyat biasa?

Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika selamanya akan tetap relevan bagi kehidupan bernegara di Indonesia yang multikultural sehingga bhineka tunggal Ika dapat menangkal segala hal yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia globalisasi yang masuk cara cepat Indonesia harus dihadapi secara selektif dengan mengedepankan bahwa bangsa Indonesia adalah satu yaitu satu bangsa satu tanah air dan satu bahasa Indonesia generasi penerus bangsa diharapkan memiliki semangat untuk menjaga keutuhan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika

 

Purnomo. H (Komunitas Pemuda Literasi Kalimantan Barat)

About Author

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *